Berdasarkan estimasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), secara global
lebih dari 500 juta orang mengalami penyakit gagal ginjal kronik. Sekitar 1,5
juta orang harus menjalani hidup bergantung pada cuci darah.
Di Indonesia, berdasarkan Pusat Data & Informasi Perhimpunan
Rumah Sakit Seluruh Indonesia, jumlah pasien gagal ginjal kronik diperkirakan
sekitar 50 orang per satu juta penduduk, 60% nya adalah usia dewasa dan usia
lanjut. Menurut Depkes RI 2009, pada peringatan Hari Ginjal Sedunia mengatakan
hingga saat ini di Tanah Air terdapat sekitar 70 ribu orang pasien gagal ginjal
kronik yang memerlukan penanganan terapi cuci darah. Sayangnya hanya 7.000
pasien gagal ginjal kronik atau 10% yang dapat melakukan cuci darah yang
dibiayai program Gakin dan Askeskin.
Dari data PT Askes tahun 2009 menunjukkan insidensi gagal ginjal
di Indonesia mencapai 350 per 1 juta penduduk, saat ini terdapat sekitar 70.000
pasien gagal ginjal kronik yang memerlukan cuci darah.
Cuci darah (Hemodialisa, sering disingkat HD) adalah salah satu
terapi pada pasien dengan gagal ginjal yang dimana dalam hal ini fungsi
“pencucian darah” yang seharusnya dilakukan oleh ginjal diganti dengan mesin.
Dengan mesin ini pasien tidak perlu lagi melakukan cangkok ginjal, pasien hanya
perlu melakukan cuci darah secara periodik dengan jarak waktu tergantung dari
keparahan dari kegagalan fungsi ginjal.
Fungsi ginjal untuk “pencucian darah” adalah dengan mengeluarkan
sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti
air, natrium, kalium, hidrogen, ureum, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain.
Cuci darah dilakukan jika ginjal kita tidak
dapat melaksanakan fungsinya dengan baik atau biasa disebut dengan gagal ginjal.
Kegagalan ginjal ini dapat terjadi secara mendadak (gagal ginjal akut) maupun
yang terjadi secara perlahan (gagal ginjal kronik) dan sudah menyebabkan
gangguan pada organ tubuh atau sistem dalam tubuh lain. Hal ini terjadi karena
racun – racun yang seharusnya dikeluarkan oleh ginjal tidak dapat dikeluarkan
karena rusaknya ginjal. Kelainan yang dapat terjadi yaitu meningkatnya kadar
keasaman darah yang tidak bisa lagi diobati dengan obat – obatan, terjadinya
ketidakseimbangan elektrolit dalam tubuh, kegagalan jantung memompa darah
akibat terlalu banyaknya cairan yang beredar di dalam darah, terjadinya
peningkatan dari kadar ureum dalam tubuh yang dapat mengakibatkan kelainan
fungsi otak, radang selaput jantung, dan perdarahan.
Cuci darah dapat dilakukan dalam sementara waktu apabila
kerusakan fungsi ginjal bersifat sementara, biasanya sering terjadi pada kasus
gagal ginjal akut. Tetapi, pada kasus gagal ginjal kronik dimana kerusakan
fungsi ginjal bersifat permanen, maka cuci darah dilakukan seumur hidup
pasiennya.
Rata-rata setiap orang memerlukan waktu 9-12 jam dalam sepekan
untuk mencuci seluruh darah yang ada, tetapi karena dianggap terlalu lama, maka
dibuat waktu cuci darahnya menjadi 3 kali pertemuan dalam sepekan dan
disetiap pertemuannya dilakukan selama 3-4 jam. Tentu saja akan berbeda pada
setiap orang yang memerlukan cuci darah, hal itu sangat tergantung dari derajat
kerusakan ginjalnya, diet sehari-hari, penyakit lain yang menyertainya dan
lain-lain. Sehingga dokterlah yang akan menentukannya untuk setiap pasien
dengan tepat.
Mekanisme pada mesin cuci darah adalah dengan memompakan darah
pasien ke dalam mesin kemudian lalu dibersihkan dan dipompakan lagi ke dalam
tubuh. Darah yang dipompakan ke dalam tubuh sekitar 200 – 300 ml/menit secara
kontinu selama 4 – 5 jam oleh karena arus dari pembuluh darah yang deras maka
diperlukan akses intravena yang cukup besar, sehingga dibuat hubungan antara
arteri dan vena pasien yang biasanya disebut dengan cimino yang diletakkan di
lipatan siku.
Komplikasi HD :
1. Hipotensi
Angka terjadinya komplikasi ini sekitar
15–30% dari pasien yang menjalankan hemodialisa. Keadaan yang biasa menyebabkan
hipotensi menurut Clarkson et al (2010)
antara lain kecepatan ultrafiltrasi yang tinggi, diabetes mellitus, amyloidosis,medikasi (beta bloker, alpha bloker, nitrat, calcium
chanel blocker), proses pencernaan makanan selama dialisis.
2. Keram
Keram otot terjadi sekitar 20% dalam
terapi dialisis. Keram otot ini berhubungan dengan kecepatan ultrafiltrasi yang
tinggi dan rendahnya konsentrasi sodium diasilat yang dapat mengindikasi
terkadinya keram yang menjadikan penyebab terjadinya kontraksi akut volume
ekstraseluler (Clarkson et al., 2010).
Selain itu kram mungkin adalah reflek dari perubahan elektrolit yang berpindah
ke otot membran (O’Callaghan, 2006).
3. Dialysis
Disequilibrium Syndrome
Terjadi pada saat hemodialisis pertama
kali atau pada awal dimulainya terapi hemodialisis. Sindrom ini merupakan
akibat dari perubahan osmotik pada otak, khususnya pada dinding urea plasma.
(O’Callaghan, 2006). Sindrom ini berhubungan dengan sekumpulan gejala yang
mencakup mual dan muntah, kegelisahan, sakit kepala, dan kelelahan selama
dilakukannya hemodialisa atau setelah dilakukannya hemodialisa. Dialysis Disequilibrium biasanya dilihat
pada situasi dimana pada awal konsentrasi larutan sangat tinggi dan alirannya
menalami kemunduran kecepatan (Clarkson et
al., 2010).
4. Hipoglikemia
Disebabkan oleh pengurangan level
potassium yang terlalu sering.
5. Perdarahan
Terjadi karena kerusakan fungsi platelet
di daerah uremik dan adanya perubahan permeabilitas kapiler serta anemia. Dari
beberapa hal tersebut dapat meningkatkan hilangnya di saluran pencernaan karena
gastritis atau angiodysplasia, lesi yang berhubungan dengan gagal ginjal. Pada
awal dilakukannya hemodialis, dilaporkan bahwa adanya sebagian kerusakan yang
disebabkan disfungsi platelet dan permeabilitas kapiler. Pasien yang menjalani hemodialisis
mempunyai resiko tinggi untuk terkena perdarahan karena terpapar heparin secara
berulang ulang (Clarkson et al., 2010).
6. Hipoksemia
Merupakan reflek dari hipoventilasi yang
menyebabkan perpindahan dari bikarbonat atau penutupan pulmo sehingga
mengakibatkan perubahan vasomotor dan terjadi aktifasi subtansi pada membran
dialisis (O’Callaghan, 2006).
7. Gatal
gatal
Terjadi setelah proses hemodialisis
dilakukan mungkin terjadi karena adanya reflek gatal pada gagal ginjal kronik,
eksaserbasi dari pelepasan histamin menyebabkan adanya reaksi alergi ringan
pada membran dialisis. Jarang terjadi dengan terpaparnya darah pada membran
dialisis dapat meyebabkakan respon alergi yang general (O’Callaghan, 2006).
sumber :