Senin, 14 Oktober 2013

Hemodialisa

Berdasarkan estimasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), secara global lebih dari 500 juta orang mengalami penyakit gagal ginjal kronik. Sekitar 1,5 juta orang harus menjalani hidup bergantung pada cuci darah.
Di Indonesia, berdasarkan Pusat Data & Informasi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, jumlah pasien gagal ginjal kronik diperkirakan sekitar 50 orang per satu juta penduduk, 60% nya adalah usia dewasa dan usia lanjut. Menurut Depkes RI 2009, pada peringatan Hari Ginjal Sedunia mengatakan hingga saat ini di Tanah Air terdapat sekitar 70 ribu orang pasien gagal ginjal kronik yang memerlukan penanganan terapi cuci darah. Sayangnya hanya 7.000 pasien gagal ginjal kronik atau 10% yang dapat melakukan cuci darah yang dibiayai program Gakin dan Askeskin.
Dari data PT Askes tahun 2009 menunjukkan insidensi gagal ginjal di Indonesia mencapai 350 per 1 juta penduduk, saat ini terdapat sekitar 70.000 pasien gagal ginjal kronik yang memerlukan cuci darah.
Cuci darah (Hemodialisa, sering disingkat HD) adalah salah satu terapi pada pasien dengan gagal ginjal yang dimana dalam hal ini fungsi “pencucian darah” yang seharusnya dilakukan oleh ginjal diganti dengan mesin. Dengan mesin ini pasien tidak perlu lagi melakukan cangkok ginjal, pasien hanya perlu melakukan cuci darah secara periodik dengan jarak waktu tergantung dari keparahan dari kegagalan fungsi ginjal.
Fungsi ginjal untuk “pencucian darah” adalah dengan mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, ureum, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain.
Cuci darah dilakukan jika ginjal kita tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik atau biasa disebut dengan gagal ginjal. Kegagalan ginjal ini dapat terjadi secara mendadak (gagal ginjal akut) maupun yang terjadi secara perlahan (gagal ginjal kronik) dan sudah menyebabkan gangguan pada organ tubuh atau sistem dalam tubuh lain. Hal ini terjadi karena racun – racun yang seharusnya dikeluarkan oleh ginjal tidak dapat dikeluarkan karena rusaknya ginjal. Kelainan yang dapat terjadi yaitu meningkatnya kadar keasaman darah yang tidak bisa lagi diobati dengan obat – obatan, terjadinya ketidakseimbangan elektrolit dalam tubuh, kegagalan jantung memompa darah akibat terlalu banyaknya cairan yang beredar di dalam darah, terjadinya peningkatan dari kadar ureum dalam tubuh yang dapat mengakibatkan kelainan fungsi otak, radang selaput jantung, dan perdarahan.
Cuci darah dapat dilakukan dalam sementara waktu apabila kerusakan fungsi ginjal bersifat sementara, biasanya sering terjadi pada kasus gagal ginjal akut. Tetapi, pada kasus gagal ginjal kronik dimana kerusakan fungsi ginjal bersifat permanen, maka cuci darah dilakukan seumur hidup pasiennya.
Rata-rata setiap orang memerlukan waktu 9-12 jam dalam sepekan untuk mencuci seluruh darah yang ada, tetapi karena dianggap terlalu lama, maka dibuat waktu cuci darahnya menjadi 3 kali  pertemuan dalam sepekan dan disetiap pertemuannya dilakukan selama 3-4 jam. Tentu saja akan berbeda pada setiap orang yang memerlukan cuci darah, hal itu sangat tergantung dari derajat kerusakan ginjalnya, diet sehari-hari, penyakit lain yang menyertainya dan lain-lain. Sehingga dokterlah yang akan menentukannya untuk setiap pasien dengan tepat.

Mekanisme pada mesin cuci darah adalah dengan memompakan darah pasien ke dalam mesin kemudian lalu dibersihkan dan dipompakan lagi ke dalam tubuh. Darah yang dipompakan ke dalam tubuh sekitar 200 – 300 ml/menit secara kontinu selama 4 – 5 jam oleh karena arus dari pembuluh darah yang deras maka diperlukan akses intravena yang cukup besar, sehingga dibuat hubungan antara arteri dan vena pasien yang biasanya disebut dengan cimino yang diletakkan di lipatan siku.
Komplikasi HD : 
1. Hipotensi
      Angka terjadinya komplikasi ini sekitar 15–30% dari pasien yang menjalankan hemodialisa. Keadaan yang biasa menyebabkan hipotensi menurut Clarkson et al (2010) antara lain kecepatan ultrafiltrasi yang tinggi,  diabetes mellitus, amyloidosis,medikasi (beta bloker, alpha bloker, nitrat, calcium chanel blocker), proses pencernaan makanan selama dialisis.
2. Keram
            Keram otot terjadi sekitar 20% dalam terapi dialisis. Keram otot ini berhubungan dengan kecepatan ultrafiltrasi yang tinggi dan rendahnya konsentrasi sodium diasilat yang dapat mengindikasi terkadinya keram yang menjadikan penyebab terjadinya kontraksi akut volume ekstraseluler (Clarkson et al., 2010). Selain itu kram mungkin adalah reflek dari perubahan elektrolit yang berpindah ke otot membran (O’Callaghan, 2006).
3. Dialysis Disequilibrium Syndrome
      Terjadi pada saat hemodialisis pertama kali atau pada awal dimulainya terapi hemodialisis. Sindrom ini merupakan akibat dari perubahan osmotik pada otak, khususnya pada dinding urea plasma. (O’Callaghan, 2006). Sindrom ini berhubungan dengan sekumpulan gejala yang mencakup mual dan muntah, kegelisahan, sakit kepala, dan kelelahan selama dilakukannya hemodialisa atau setelah dilakukannya hemodialisa. Dialysis Disequilibrium biasanya dilihat pada situasi dimana pada awal konsentrasi larutan sangat tinggi dan alirannya menalami kemunduran kecepatan (Clarkson et al., 2010).
4. Hipoglikemia
      Disebabkan oleh pengurangan level potassium yang terlalu sering.
5. Perdarahan
      Terjadi karena kerusakan fungsi platelet di daerah uremik dan adanya perubahan permeabilitas kapiler serta anemia. Dari beberapa hal tersebut dapat meningkatkan hilangnya di saluran pencernaan karena gastritis atau angiodysplasia, lesi yang berhubungan dengan gagal ginjal. Pada awal dilakukannya hemodialis, dilaporkan bahwa adanya sebagian kerusakan yang disebabkan disfungsi platelet dan permeabilitas kapiler. Pasien yang menjalani hemodialisis mempunyai resiko tinggi untuk terkena perdarahan karena terpapar heparin secara berulang ulang (Clarkson et al., 2010).
6. Hipoksemia
      Merupakan reflek dari hipoventilasi yang menyebabkan perpindahan dari bikarbonat atau penutupan pulmo sehingga mengakibatkan perubahan vasomotor dan terjadi aktifasi subtansi pada membran dialisis (O’Callaghan, 2006).
7. Gatal gatal
Terjadi setelah proses hemodialisis dilakukan mungkin terjadi karena adanya reflek gatal pada gagal ginjal kronik, eksaserbasi dari pelepasan histamin menyebabkan adanya reaksi alergi ringan pada membran dialisis. Jarang terjadi dengan terpaparnya darah pada membran dialisis dapat meyebabkakan respon alergi yang general (O’Callaghan, 2006). 

sumber :

0 komentar:

Posting Komentar